Komitmen Kurangi Emisi Karbon, Indonesia Meluncurkan Bursa Karbon

bursa karbon Indonesia berpotensi membuat perusahaan makin sadar akan emisi yang mereka buang

Sadar atau tidak, manusia menjadi penyebab pemanasan global paling signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Laporan IPCC Climate Change pada 2021 menunjukkan, pemanasan dunia mungkin akan mencapai atau melampaui 1,5 derajat Celcius hanya dalam dua dekade mendatang.

Berdasarkan skenario emisi tinggi, IPCC menemukan bahwa suhu dunia mungkin akan meningkat sebesar 4,4 derajat Celcius pada 2100. Bila ini terjadi, mungkin akan menimbulkan bencana besar. Mengerikan.

Baca juga: Dekarbonisasi Dapat Dipercepat dengan Beralih ke Bangunan Cerdas dan Hijau

Apakah kita dapat membatasi pemanasan tersebut dan mencegah dampak iklim lebih parah? Semua bergantung pada tindakan yang diambil pada dekade ini.

Caranya adalah dengan pengurangan emisi karbon sehingga dunia dapat mempertahankan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius, batas yang menurut para ilmuwan diperlukan untuk mencegah dampak terburuk terhadap iklim.

Bursa karbon jadi upaya Indonesia

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional hingga 2030.

Salah satu upaya pemerintah adalah menerapkan mekanisme kredit karbon atau carbon credit. Apa itu kredit karbon? Bagaimana cara menghitungnya? Apa hubungan kredit karbon dengan carbon trading atau perdagangan karbon?

Baca juga: Memadukan Desain Data Center dan AI untuk Kurangi Jejak Karbon

Pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan bursa karbon pada 26 September 2023. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong seluruh stakeholder untuk mendukung jalannya bursa karbon.

Secara sederhana, perdagangan karbon atau bursa karbon adalah jual beli kredit atas pengeluaran karbon dioksida dan gas rumah kaca. Perusahaan yang mampu menekan emisi dapat menjual kredit karbon ke perusahaan yang melampaui batas emisi.

Cara menghitung kredit karbon

Cara menghitung kredit karbon yang saat ini telah disepakati dunia adalah dengan menggunakan skema reducing emissions deforestation and forest degradation (REDD+).

REDD+ merupakan konsep untuk menekan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan plus konservasi, pengelolaan kelestarian hutan, serta peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang.

Perhitungan karbon kredit penting dilakukan sebelum mengambil tindakan terkait penyelamatan lingkungan. Adapun tahapan pada REDD+ yang disepakati seluruh dunia adalah pengukuran, verifikasi, kemudian tindakan (MRV).

Baca juga: Solusi Komputasi Edge untuk Mempercepat Digitalisasi Sekolah

MRV merupakan sistem untuk mendokumentasikan, melaporkan, dan membuktikan perubahan karbon secara konsisten, lengkap, transparan, dan akurat sehingga dapat diterima secara internasional.

MRV dapat membantu pemerintah dalam menetapkan emisi awal (baseline) karbon untuk dasar perhitungan dalam mekanisme carbon trading di bursa karbon.

Merujuk data IPCC-GL 2006, perhitungan data cadangan karbon dan perubahannya perlu memperhitungkan lima sumber karbon (carbon pools), yakni tanah, serasah, pohon yang mati, serta biomassa di bawah dan atas tanah.

Baca juga: Cara Terbaik Menurunkan Biaya Listrik dan Energi

Lewat skema REDD+, pengelola hutan yang sudah meraih sertifikasi pengelolaan hutan lestari dapat mengakses tambahan insentif jasa lingkungan berupa kredit karbon.

Pada perkembangan implementasi REDD+ di Indonesia, terdapat banyak tantangan dan lika-liku yang dilewati. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), REDD+ menjadi isu lintas sektoral yang memerlukan koordinasi dengan seluruh stakeholder untuk bersama-sama mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan dalam kerangka implementasi REDD+ secara penuh, baik di skala nasional maupun subnasional.

Butuh dukungan stakeholder

Untuk mewujudkan impian penurunan emisi karbon, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan dukungan dari stakeholder terkait, terutama pihak swasta.

Hal tersebut disadari betul oleh Schneider Electric, perusahaan yang fokus dalam transformasi digital manajemen energi dan automasi.

Schneider Electric menginisiasi program Schneider Green pada 2022 dan telah berhasil memberikan dampak positif serta manfaat melalui penanaman lebih dari 300 pohon di berbagai kota, mulai dari Bekasi, Medan, Surabaya, Mojokerto, Malang, hingga Kediri dengan potensi penyimpanan karbon mencapai 6,89 ton.

Baca juga: Schneider Electric Ajak Profesional Tingkatkan Wawasan Sustainability Melalui Sustainability School

Schneider Electric pun menargetkan dapat menanam 800 bibit tanaman keras hingga 2025 yang memiliki potensi penyimpanan karbon mencapai 18,4 ton.

Secara keseluruhan, Schneider Electric mencanangkan kupaya karbon netral pada operasinya, termasuk karbon dioksida offset pada 2025. Pada 2030, Schneider Electric akan mengurangi pengeluaran karbon sebesar 25 persen di seluruh rantai pasok dan “Net-Zero ready” dalam operasinya.

Kemudian, pada 2040, Schneider Electric mencanangkan kupaya karbon netral pada seluruh rantai pasok dan Net-Zero emisi karbon pada seluruh rantai pasok pada 2050.

Untuk memahami lebih lanjut tentang komitmen dan perjalanan keberlanjutan Schneider Electric sebagai Impact Company, baca laporan keberlanjutan terbarunya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar