Interoperabilitas, Kunci Kesuksesan Indonesia Maksimalkan Potensi Industri 4.0

Pabrik Schneider Electric di Indonesia

Menurut hasil studi yang dilakukan McKinsey, teknologi industri 4.0 memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi limbah, dan menghasilkan produk serta jasa yang lebih baik. Teknologi ini juga berpotensi meningkatkan keuntungan produksi dari 216 miliar dollar AS atau Rp 3.122 menjadi 627 miliar dollar AS atau Rp 9.063 di kawasan Asia Tenggara.

Akan tetapi, terlepas dari peluang yang dihadirkan oleh teknologi tersebut, tetap ada kewaspadaan dan hambatan dalam pengadopsian industri 4.0. Di Indonesia, secara spesifik, infrastruktur digital dan literasi digital menjadi kendala utama yang perlu dibenahi dan ditingkatkan oleh pemerintah.

Dengan tantangan-tantangan ituditambah lagi ketidakpastian ekonomi dan kehati-hatian perusahaan untuk menanamkan modal dalam jumlah besar ke dalam sistem operasional mereka, jelas bahwa interoperabilitas merupakan kunci kesuksesan dalam memaksimalkan potensi industri 4.0.

Baca juga: Bagaimana Cara Mengelola Industri E-Commerce agar Lebih Sustainable?

Menurut pemimpin transformasi digital dalam pengelolaan energi dan automasi, Schneider Electric, interoperabilitas sangat penting bagi penyerapan teknologi industri 4.0 di seluruh Indonesia. Hal ini juga terkait dengan agenda pemerintah untuk mempercepat dan meningkatkan pemanfaatan serta pengembangan teknologi digital sebagaimana tercantum dalam Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024.

Tanpa kemampuan untuk mentransformasi sumber data yang besar menjadi wawasan yang dapat digunakan dengan mudah, hemat, skalabel, dan berorientasi pada optimalisasi produksimaka sulit untuk mencapai transformasi digital dalam ekonomi sirkuler.

Agar terus berkembang dalam lanskap bisnis yang tengah mengalami disrupsi, produsen perlu memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan produksi secara mulus di seluruh platformnya.

Baca juga: Pemanfaatan EBT bagi Industri Wujudkan Pembangunan Ekonomi Hijau

Di sinilah interoperabilitas berperan, menghadirkan semacam integrasi yang dapat diulang dan diperluas tanpa memerlukan usaha dan waktu yang memberatkan pihak produsen.

Interoperabilitas berarti adanya tingkat konektivitas dan keterbukaan yang tinggi, sering kali dilakukan dengan menggunakan protokol yang sudah ada untuk menyatukan nilai dari berbagai aliran data secara bersamaan.

Perusahaan-perusahaan raksasa manufaktur di Indonesia membeli mesin mereka dari perusahaan yang berbeda-beda dengan standar dan proses yang beragam. Hal ini berarti analisis data sejak lama sudah terpisah-pisah (silo) dan hal ini merupakan salah satu hambatan terbesar dalam pengadopsian proses berbasis data untuk mentransformasi sistem manufaktur secara menyeluruh.

Baca juga: Kolaborasi Schneider Electric dan AVEVA Membangun Ekosistem Kerja Jarak Jauh yang Produktif

Sistem digital yang interoperabel dapat mengintegrasikan berbagai aliran data yang berbeda dari sistem dan jaringan manufaktur yang berbeda-beda untuk menghasilkan tampilan automasi universal yang menyeluruh (holistik).

Dengan berinvestasi pada sistem interoperabel dan terbuka, produsen dapat memperdalam pemahaman akan kinerja bisnis mereka dan membuat keputusan berbasis data yang terkualifikasi untuk meningkatkan hasil dan optimalisasi perusahaan.

Prinsip yang sama juga berlaku pada properti dan pabrik. Pabrikan di Asia cenderung mengelola beberapa fasilitas secara bersamaan, bahkan terkadang lintas negara. Sistem yang terbuka dan terhubung memungkinkan pengelolaan jarak jauh yang lebih mumpuni, analisis data yang terkonsolidasi, serta peluang untuk optimalisasi proses dari jauh juga akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi secara signifikan.

Baca juga: 3 Alasan Operator Data Center dan Colocation Perlu Prioritaskan Sustainability

Sebagai informasi, selama pandemi Covid-19, pabrik pintar SchneiderElectric di Batam mampu beroperasi secara live karena para teknisi dapat memantau dan mengelola beragam fungsi, sistem, dan lokasi dari jarak jauh.

Perangkat-perangkat tersebut telah membantu para pekerja mencapai peningkatan pengiriman secara tepat waktu sebesar 40 persen, pengurangan beban waktu henti alat sebesar 44 persen, dan penghematan biaya energi sebesar 5 persen.

Dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu karena pandemi, para pelaku industri membutuhkan sistem perangkat yang dapat membantu mengukuhkan posisinya kembali di pasar. Interoperabilitas pun bisa menjadi kunci penerapan secara cepat dan andal.

Pemanfaatan EBT bagi Industri Wujudkan Pembangunan Ekonomi Hijau

pemerintah akan fokus membangun PLTS untuk mendapatkan energi bersih

Sebagai tiga besar penyumbang gas rumah kaca (GRK), sektor industri dapat menjadi motor penggerak bagi sektor lain untuk segera mengambil langkah proaktif menuju pembangunan ekonomi hijau dengan net-zero emission.

Dunia masa depan yang sustainable, menurut Schneider Electric, adalah dunia yang berbasis listrik dan digital atau dikenal dengan istilah electricity 4.0.

Listrik menawarkan cara tercepat, teraman, dan paling hemat biaya untuk mewujudkan dekarbonisasi. Sementara, teknologi digital membangun masa depan yang cerdas dengan mendorong efisiensi dan menekan pemborosan energi.

Baca juga: Kolaborasi Schneider Electric dan AVEVA Membangun Ekosistem Kerja Jarak Jauh yang Produktif

Sebagai informasi, lebih dari 60 persen energi yang dihasilkan oleh sektor industri terbuang sia-sia. Penyebabnya, efisiensi sering diabaikan. Padahal, langkah ini merupakan salah satu cara tercepat untuk mengurangi konsumsi energi.

Pemanfaatan listrik berbasis sumber energi baru terbarukan (EBT) yang didukung dengan teknologi digital pun bisa menjadi solusi terbaik dalam penyediaan dan pemerataan akses energi bersih hingga ke daerah terpencil.

Rencana pemerintah

Selain itu, listrik berbasis EBT juga dapat membantu pengelolaan lebih efisien dan sustainable, mengurangi emisi karbon, serta meningkatkan ketahanan energi.

Dalam hal sumber EBT, pemerintah Indonesia telah mencanangkan pembangunan infrastruktur, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). 

Pemerintah telah menyiapkan road map untuk mendorong peningkatan industri serta pembangunan infrastruktur PLTS yang tertuang di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Baca juga: 3 Alasan Operator Data Center dan Colocation Perlu Prioritaskan Sustainability

Dalam RUPTL tersebut, pemerintah menargetkan pembangkit listrik berbasis EBT mencapai 51,6 persen. Selain itu, Kementerian ESDM akan mengembangkan secara bertahap PLTS Atap sebesar 3,6 giga watt (GW) hingga 2025.

Adapun sektor industri dan bisnis menjadi salah satu segmen konsumen prioritas. Selain itu, target penambahan PLTS Atap diharapkan dapat menekan penurunan emisi GRK hingga 4,58 juta ton karbon dioksida pada 2025.

Perlu diketahui bahwa adopsi PLTS Atap di sektor industri perlu terus didorong dengan memberikan dukungan ahli melalui kemitraan strategis.

Tantangan energi bersih

Namun, ada salah satu kendala yang dihadapi oleh pelaku industri untuk beralih ke energi bersih, yakni biaya investasi awal yang tinggi.

Padahal, penggunaan PLTS Atap bagi pelaku industri memiliki peran penting dalam pengembangan industri hijau. Maka dari itu, kami menyediakan alternatif pembiayaan instalasi PLTS Atap tanpa investasi sebagai bentuk komitmen kami dalam meningkatkan penggunaan EBT bagi pelaku industri.

Sementara itu, Schneider Electric yang juga merupakan bagian dari sektor industri telah memulai perjalanan sustainability sejak 2005.

Baca juga: Bagaimana Cara Mengelola Industri E-Commerce agar Lebih Sustainable?

Dalam beberapa kesempatan, Schneider Electric bahkan memperoleh pengakuan dari berbagai agensi penilaian environmental, social and corporate governance (ESG) sejak 2020. 

Perusahaan asal Prancis tersebut berhasil memperoleh CDP Climate Change dengan  nilai A selama 10 tahun berturut-turut. Terakhir, Schneider Electric juga dianugerahi sebagai The World’s Most Sustainable Corporation 2021 dari Corporate Knights. 

Komitmen sustainability dalam operasional Schneider Electric di Indonesia ditunjukkan dengan digitalisasi operasional seluruh pabriknya menjadi pabrik pintar. Perusahaan juga telah memulai peralihan ke PLTS Atap pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan energi di pabriknya di Cikarang.

Baca juga: Kolaborasi Schneider Electric dan SMK Wujudkan Lingkungan Sekolah Hijau dengan Program Adopt a Tree

Saat ini, PLTS Atap pada pabrik Schneider Electric di Cikarang dapat menghasilkan 224 megawatt per hour (Mwh) atau setara dengan 21,6 persen dari total konsumsi pabrik. Dengan kata lain, PLTS Atap berhasil mengurangi emisi karbon sebesar 164 ton karbon dioksida dan menghemat biaya energi sebesar 8 persen.

Martin mengatakan, perusahaan kian dituntut untuk lebih transparan terhadap dampak bisnis terhadap lingkungan sehingga akurasi data menjadi ujung tombak dalam mengukur keberhasilan dari upaya sustainability. Teknologi digital memungkinkan hal ini.

Baca juga: Teknologi Digital Bantu Perusahaan Kurangi Emisi hingga 19 Persen

Schneider Electric global memiliki Sustainability Business Division yang menyediakan serangkaian layanan yang komprehensif dalam pengelolaan energi dan sustainability. Kami juga memiliki Schneider Electric’s Energy and Sustainability Services yang menyediakan layanan konsultasi untuk mengembangkan rencana strategis.

Sustainability Business Division, lanjutnya telah memberi masukan kepada ribuan perusahaan global tentang cara mengukur, mengelola, dan mengurangi jejak karbon mereka sendiri. 

Kolaborasi Schneider Electric dan AVEVA Membangun Ekosistem Kerja Jarak Jauh yang Produktif

teknologi cloud computing dan AI

Pemanfaatan teknologi digital dan automasi, seperti industrial cloud computing, kolaborasi digital, dan artificial intelligence (AI) menjadi kunci kesuksesan dalam membangun dunia digital yang saling terhubung.

Bisnis yang lebih gesit dan tangguh dalam memanfaatkan teknologi inovatif untuk memfasilitasi model kerja jarak jauh memungkinkan perusahaan membuat keputusan lebih cepat dan akurat. Hasilnya, perusahaan menemukan cara baru untuk mengontrol pengeluaran biaya dengan lebih baik dan mengurangi risiko operasional.

Baca juga: Pemanfaatan Teknologi Digital Mampu Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca Perusahaan

Inovasi teknologi memungkinkan pengelolaan operasional dan pemeliharaan di lokasi terpencil. Dengan bantuan industrial internet of things (IIoT), digital twins, cloud computing, dan AI, hambatan kompleksitas rantai pasokan, produksi, serta distribusi dalam kegiatan operasional dapat diatasi dengan menghubungkan proses inti ke dalam lingkungan digital terpadu.

Perusahaan teknologi, seperti Schneider Electric dan AVEVA bahkan menyediakan perangkat lunak, layanan, digital power, dan solusi infrastruktur yang memudahkan transisi ke dunia operasional yang dikendalikan dari jarak jauh dengan ekosistem terhubung.

Berikut adalah tiga faktor kunci keberhasilan untuk membangun ekosistem operasional yang terhubung.

1. Industrial cloudcomputing

Menyediakan akses jarak jauh terhadap data dengan cara yang aman dan dapat diaudit menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan bagi organisasi yang mengharapkan ekosistem kerja terhubung secara produktif.

Pasalnya, mengakses data secara terintegrasi melalui solusi analitik berbasis cloud memungkinkan staf menavigasi kompleksitas baru dengan lebih gesit.

Ketika data disajikan dalam satu platform yang sama kepada staf dalam konteks yang relevan, mereka bisa melakukan kolaborasi untuk mengatasi masalah dengan jauh lebih baik dan mendorong efisiensi.

Ketika staf di seluruh rantai nilai mendapatkan akses "di ujung jari mereka" terhadap informasi yang sama, pengambilan keputusan akan menjadi lebih cepat, lebih tepat, dan lebih menguntungkan.

Baca juga: 3 Alasan Operator Data Center dan Colocation Perlu Prioritaskan Sustainability

Misalnya, sebuah perusahaan energi multinasional yang aktif di sektor pembangkit dan distribusi listrik, ENEL. Baru-baru ini, perushaan tersebut mengembangkan pembangkit semi-otonom menggunakan teknologi digital twin dari AVEVA.

Dalam satu malam, mereka dapat mentransisikan 30.000 pekerja mereka di Italia ke model kerja jarak jauh. Informasi utama dari sistem inti di lokasi pun dapat dimigrasikan ke cloud tanpa menyebabkan gangguan apa pun pada operasional.

Investasi pada teknologi memungkinkan perusahaan memastikan kelangsungan dan semakin memperkuat ketahanan operasional perusahaan secara menyeluruh.

2. Kolaborasi digital

Dengan semakin terhubungnya akses ke data dan informasi penting, hal ini dapat meningkatkan kemampuan untuk mendorong kolaborasi yang lebih efektif. Perangkat lunak yang ada saat ini menyediakan informasi relevan dan dapat disesuaikan dalam bentuk dasbor berbasis data yang semakin menyederhanakan sekaligus memungkinkan kolaborasi secara virtual.

Misalnya, Neste, produsen diesel terbarukan dan bahan bakar penerbangan berkelanjutan terkemuka di dunia. Perusahaan ini sedang mengembangkan daur ulang bahan kimia untuk memerangi tantangan limbah plastik.

Dalam perjalanan mereka menuju netralitas karbon pada 2035, mereka menggunakan inovasi digital untuk mendorong hasil yang sustainable di seluruh lini bisnis.

Selama lebih dari 10 tahun, Neste terus meningkatkan volume produk terbarukannya. Saat ini, perusahaan memiliki kapasitas untuk memproduksi 3,2 juta ton produk terbarukan setiap tahun di kilangnya di Singapura, Rotterdam, dan Porvoo di Finlandia.

Baca juga: Bagaimana Cara Mengelola Industri E-Commerce agar Lebih Sustainable?

Namun, menyeimbangkan pasokan bahan baku dan produksi bahan bakar di beberapa lokasi secara global menjadi tantangan yang rumit. Neste menggunakan perangkat lunak AVEVA Unified Supply Chain untuk mengoptimalkan dan menjadwalkan renewable credits, serta mengurangi emisi dari penyulingan konvensional dan produksi diesel terbarukannya.

Solusi itu bekerja di 80 lokasi untuk mendukung pengambilan keputusan yang optimal seputar pasokan dan distribusi, serta perencanaan dan penjadwalan produksi. Dengan penerapan cloud, tim dapat menggunakan kecerdasan data dan analitik untuk membuat keputusan cepat dari mana saja.

3. Artificial intelligence

Selain ketersediaan data dalam jumlah besar yang dibagikan di cloud, para pekerja membutuhkan teknologi digital untuk dapat mendukung mereka dengan inferensi jarak jauh, prediksi, panduan, dan adaptasi operasional. Kecerdasan buatan atau AI bisa dimanfaatkan untuk menciptakan kesadaran data dan mengisi celah atas pelaporan secara onsite.

Contoh terbaik dapat dilihat pada penerapan di produsen pasir minyak, Suncor dan penyedia listrik di Amerika Serikat (AS), Duke. Kedua perusahaan menggunakan hardware dari Schneider Electric yang dikombinasikan dengan pemodelan rentang dinamis AVEVA, yaitu alat prognostik dan analitik yang dilengkapi AI untuk mengoptimalkan proses di seluruh aset.

Mereka menggabungkan data tentang berbagai hal, mulai dari laju aliran dan volume hingga shift dan perencanaan operasional.

Baca juga: Kolaborasi Schneider Electric dan SMK Wujudkan Lingkungan Sekolah Hijau dengan Program Adopt a Tree

Sekarang, pemimpin kedua perusahaan dapat mendeteksi kegagalan unit lebih awal, mengidentifikasi potensi tantangan produksi atau kegagalan peralatan sebelum terjadi, dan mengoptimalkan kinerja dengan mengalihkan secara otomatis ke komponen pabrik yang berbeda untuk mengantisipasi kegagalan.

Pemanfataan teknologi automasi tersebut telah memungkinkan Suncor untuk mendorong produktivitas dan memastikan produksi yang lebih tinggi, dan mengoptimalkan masa manfaat portofolio mereka. Di Duke, perusahaan dapat menghemat 34 juta dollar AS dalam satu operasional yang diprediksi AI.

Pekerja kedua perusahaan pun dapat merasakan manfaat penggunaan teknologi digital dan automasi yang memungkinkan mereka membuat keputusan lebih baik, berkolaborasi secara real-time, meningkatkan keselamatan, dan mendorong sustainability di seluruh operasional.

3 Alasan Operator Data Center dan Colocation Perlu Prioritaskan Sustainability

data center dan colocation dari schneider electric

Kebutuhan perusahaan akan layanan digital semakin meningkat. Untuk mewujudkannya, perusahaan memerlukan data center yang lebih andal. Namun, selain memberikan banyak manfaat, data center ternyata mengonsumsi banyak energi. Bahkan, penggunaan energi data center mencapai 1-2 persen dari keseluruhan energi yang digunakan di dunia.

Selama bertahun-tahun, industri data center telah berfokus pada efisiensi energi dengan istilah “menggunakan lebih sedikit”. Namun, saat ini, banyak diskusi telah bergeser ke arah terbaru menuju sustainability.

Baca juga: Pemanfaatan Teknologi Digital Mampu Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca Perusahaan

White paper terbaru dari Schneider Electric pun membahas tiga alasan utama mengapa operator data center dan penyedia colocation harus memprioritaskan sustainability. Sebagai informasi, colocation merupakan penempatan mesin komputer atau server di lokasi pihak ketiga dan terkoneksi dengan jaringan distribusi atau bandwidth yang tersedia.

1. Kebutuhan pelanggan

Alasan pertama yang perlu digarisbawahi oleh operator data center dan penyedia colocation untuk memprioritaskan sustainability adalah kebutuhan pelanggan.

Saat ini, banyak perusahaan, termasuk perusahaan internet besar mencanangkan target net-zero emission dan harus memberikan laporan emisi gas rumah kaca Tier 3, termasuk emisi dari supplier mereka, seperti penyedia layanan colocation yang sudah mereka tunjuk.

Baca juga: Bagaimana Cara Mengelola Industri E-Commerce agar Lebih Sustainable?

Program ekonomi sirkular, seperti daur ulang untuk suku cadang dan baterai juga menjadi nilai tambah untuk memastikan pengurangan limbah dan penggunaan kembali bahan material.

Adapun salah satu layanan colocation yang dihadirkan Schneider Electric melalui Energy and Sustainability Service telah bekerja dengan pelanggan, termasuk beberapa operator data center terbesar di dunia, untuk mengurangi emisi dengan menghemat 134 juta metrik ton karbondioksida

2. Peraturan pemerintah

Alasan utama kedua penyedia colocation harus memprioritaskan sustainability adalah peraturan pemerintah.

Selama bertahun-tahun, instansi pemerintah telah mengawasi industri data center atas penggunaan bahan kimia sebagai pendingin dalam peralatan heating, ventilation, dan air-conditioning (HVAC), gas sulfur heksafluorida (SF6), dan pengelolaan pengembangan sumber daya. Penting bagi operator data center untuk memahami dampak lingkungan dari elemen-elemen ini dan memasukkan tindakan yang tepat dalam rencana sustainability-nya.

Baca juga: Kolaborasi Schneider Electric dan SMK Wujudkan Lingkungan Sekolah Hijau dengan Program Adopt a Tree

Selain itu, memiliki rencana aksi sustainability yang jelas dan terukur adalah keunggulan kompetitif yang dapat menjadi bagian dari strategi pemasaran serta positioning perusahaan.

3. Investasi ESG

Alasan ketiga mengapa penyedia colocation harus memprioritaskan keberlanjutan adalah investasi environmental, social, dan corporate governance (ESG).

Saat ini, lebih banyak dana investasi tersedia untuk perusahaan yang mengurangi dampak lingkungan dan membuat komitmen ESG secara jelas, lugas, dan sederhana.

Sebagian besar perusahaan publik juga menerbitkan laporan sustainability dan mengadopsi komitmen mereka dalam struktur tata kelola perusahaan. Pendanaan pun tersedia melalui obligasi dan beberapa lembaga pemerintah akan menawarkan pembiayaan dalam bentuk pinjaman, hibah, atau sumber lain untuk proyek yang mengurangi jejak karbon dan meningkatkan efisiensi energi.

Baca juga: Apa yang Bisa Perusahaan Lakukan untuk Menghentikan Perubahan Iklim?

Dapat digarisbawahi bahwa sustainability memiliki makna lebih besar dari sekadar istilah “menggunakan lebih sedikit” atau “berbuat baik”. Pasalnya, sangat penting untuk mengatasi tantangan terbesar abad ini, yaitu darurat perubahan iklim. 

Bagaimana Cara Mengelola Industri E-Commerce agar Lebih Sustainable?

Schneider Electric bantu industru e-commerce dengan teknologi data center yang ramah lingkungan

Studi yang dilakukan Temasek, Google, serta Bain & Company dengan tajuk e-Conomy SEA 2021 menyebutkan, perdagangan e-commerce di Indonesia pada 2021 tercatat mencapai 53 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 760 triliun. Angka ini meningkat sekitar 52 persen dibandingkan 2020.

Nominal tersebut menjadikan industri e-commerce sebagai kontributor terbesar dalam pertumbuhan nilai ekonomi digital Indonesia. 

Kementerian Perdagangan (Kemendag) pun menargetkan belanja online melalui platform e-commerce yang saat ini baru menyumbang 4 persen menjadi 18 persen terhadap total pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2030.

Baca juga: Kolaborasi Schneider Electric dan SMK Wujudkan Lingkungan Sekolah Hijau dengan Program Adopt a Tree

Ditambah, perkembangan industri 4.0 dan situasi pandemi Covid-19 turut menjadi akselelator pertumbuhan perdagangan secara elektronik beberapa tahun terakhir.

Hasil survei We Are Social pada April 2021 menunjukkan, Indonesia bertengger sebagai negara tertinggi di dunia yang menggunakan layanan e-commerce dengan 88,1 persen pengguna internet di Indonesia berbelanja online.

Bila ditilik secara linear, pertumbuhan sektor e-commerce turut meningkatkan kebutuhan perusahaan akan data center yang andal. Seperti diketahui, data center berfungsi untuk menyimpan, mengelola, dan mentransfer data secara cepat melalui cloud.

Di sisi lain, pengelolaan data center memerlukan konsumsi energi lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan e-commerce diharapkan mulai mempertimbangkan penggunaan data center yang lebih efisien agar dapat mengurangi dampak emisi karbon terhadap kelestarian lingkungan.

Baca juga: Pemanfaatan Teknologi Digital Mampu Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca Perusahaan

Data dari Schneider Electric menyebutkan, data center diprediksi menjadi penyumbang konsumsi energi terbesar di industri teknologi informasi dengan konsumsi 8,5 persen dari penggunaan listrik global pada 2035.

Business Vice President Secure Power Schneider Electric Indonesia and Timor Leste Yana Achmad Haikal menyebutkan, data center merupakan teknologi masa kini dan masa depan.

Pada masa mendatang, data center diharapkan dapat mengonsumsi listrik lebih sedikit tanpa mengorbankan reliability (keandalan).

“Salah satu caranya adalah dengan melakukan digitalisasi pengelolaan energi dan automasi dengan memanfaatkan software management tool, seperti EcoStruxure IT & Asset Advisor,” kata Yana pada acara virtual media briefing Schneider Electric, Selasa (25/1/2022).

Baca juga: Perusahaan Terkendala Wujudkan Transformasi Digital? Ini 3 Tipsnya

Guna meningkatkan visibilitas dan kontrol menyeluruh terhadap operasional data center, lanjutnya, produktivitas serta waktu uptime  akan semakin meningkat. Hal ini sekaligus dapat menekan biaya listrik.

“Pemanfaatan teknologi edge data center berbasis modular, seperti Micro Data Center dan Modular Data Center dari Schneider Electric juga dapat mendukung sektor e-commerce dalam mengurangi latensi untuk memaksimalkan pengalaman transaksi terbaik bagi konsumen,” jelas Yana.

Selain itu, teknologi edge data center berbasis modular juga bisa disesuaikan dengan skala bisnis masing-masing perusahaan.

“Penggunaan sumber listrik terbarukan dan ramah lingkungan, seperti panel surya juga dapat menjadi solusi alternatif untuk pengelolaan data center yang lebih hijau. Mengingat, biaya energi berkontribusi sekitar 40 persen dari biaya operasional,” kata Yana.

Baca juga: Mengapa Teknologi Digital Jadi Kunci Atasi Perubahan Iklim?

Yana juga menyebutkan bahwa sebagai sektor andalan masa depan, e-commerce tengah menghadapi dua tantangan besar. Pertama, tuntutan terhadap pemenuhan pengalaman transaksi terbaik tanpa hambatan. Kedua, desakan global terhadap upaya dekarbonisasi kepada seluruh sektor industri.

Untuk menjawab tantangan tersebut, penguatan infrastruktur digital secara andal, terintegrasi, dan efisien menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan sustainability.

Chief Executive Officer Airmas Group Basuki Surodjo mengamini pernyataan Yana. Ia menegaskan bahwa perusahaan e-commerce harus memilki infrastruktur digital yang memadai. Perusahaan juga harus adaptif dengan digital marketing agar tetap sustainable di era industri 4.0.

“Di Airmas Group, kami pun terus berupaya untuk agresif dalam membangun platform digital, baik dalam bentuk mobile app dan website. Selain itu, untuk mendukung bisnis, kami telah melakukan investasi dalam membangun data center sendiri dan menggunakan teknologi yang pintar serta ramah lingkungan,” jelas Basuki.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan bahwa pertumbuhan transaksi perdagangan digital Indonesia masih akan terus menuju ke arah positif.

“Potensi pertumbuhan perdagangan digital di Indonesia masih sangat besar. Pandemi Covid-19 selama dua tahun belakangan ternyata memiliki sisi positif terhadap adaptasi masyarakat menggunakan teknologi digital,” jelasnya.

Lebih lanjut, Bima mengatakan bahwa peningkatan signifikan terhadap platform e-commerce tak hanya terjadi dari sisi jumlah konsumen.

“Pertumbuhan pelaku usaha atau merchant di platforme-commerce juga tumbuh sangat signifikan. Tentu menjadi tantangan bagi para pelaku industri e-commerce untuk mengedukasi merchant baru,” kata Bima.