Dekarbonisasi Dapat Dipercepat dengan Beralih ke Bangunan Cerdas dan Hijau

Smart building dan green building punya peranan penting untuk mendukung upaya dekarbonisasi dan mempercepat langkah sustainability lingkungan

Perubahan iklim memberikan beragam dampak buruk bagi lingkungan. Guna mengurangi dampak perubahan iklim dan tingkat emisi karbon, upaya keberlanjutan pada sektor bangunan dan konstruksi harus semakin digalakkan.

Pasalnya, walaupun saat ini banyak kemajuan yang dicapai melalui efisiensi energi yang diterapkan pada beragam bangunan, termasuk pemanfaatan renewable energy atau energi baru terbarukan (EBT), tetapi hal ini belum dapat mengimbangi meningkatnya emisi karbon dari sektor konstruksi.

Oleh sebab itu, mewujudkan bangunan cerdas dan hijau, baik komersial maupun residensial, dalam konteks revitalisasi fasilitas bangunan eksisting dan pembangunan fasilitas bangunan baru menjadi sebuah upaya yang harus segera dilakukan.

Baca juga: Mengapa Digitalisasi Membuat Hasil Bisnis Lebih Baik: 3 Pelajaran yang Dipetik

Tujuannya jelas, yaitu mengurangi emisi karbon, efisiensi biaya operasional, dan meningkatkan keberlanjutan dalam bisnis.

Upaya tersebut berlaku bagi seluruh kalangan pengelola dan pengembang fasilitas bangunan perkantoran, pusat data dan jaringan, manajemen fasilitas, perusahaan listrik, layanan kesehatan, pengolahan air bersih dan air limbah, energi dan bahan kimia, makanan dan minuman, hotel, serta real estate komersial.

Kenyataannya, kebutuhan bangunan cerdas dan hijau memang semakin meningkat.

Bangunan cerdas dan hijau didesain untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta memaksimalkan efisiensi energi dan keberlanjutan.

Baca juga: Wujudkan Net Zero Emissions dengan Mendukung Cleantech Start-up Indonesia

Bangunan cerdas dan hijau mendukung proses keberlanjutan karena memberikan peluang bagi penggunanya memperoleh kenyamanan serta keamanan dalam bekerja untuk hasil yang optimal dan efisien.

Dengan menjadi pelaku aktif dalam aksi keberlanjutan ini, sejatinya kita telah menjadi bagian gerakan Green Heroes for Life guna mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan sehat bagi generasi selanjutnya.

Adapun salah satu cara mewujudkan bangunan hijau dan cerdas adalah pemanfaatan internet of things (IoT). IoT bisa mendorong terciptanya bangunan yang lebih efisien, nyaman, mudah dikelola, dan semuanya saling terhubung.

Baca juga: Bagaimana Memanfaatkan Surplus Generasi Muda di Era Sustainability Teknologi?

Inilah alasan kehadiran bangunan cerdas dan hijau yang dilengkapi IoT menjadi semakin penting dalam konteks efisiensi energi dan keberlanjutan.

Teknologi IoT yang bisa diterapkan merupakan jaringan sistem dan perangkat pendukung yang ada pada bangunan, seperti pencahayaan, sistem pemanas dan pendingin udara (HVAC), akses keamanan dan kontrol, serta perangkat kontrol berupa katup, aktuator, sensor, dan meter.

Perusahaan yang fokus pada bidang energi dan automasi, Schneider Electric, mecatat bahwa penerapan IoT pada manajemen sistem bangunan memberikan efisiensi atas biaya dan waktu rekayasa hingga 80 persen.

Selain itu, berdasarkan penelitian Schneider Electric, pengelola bangunan dapat menghemat biaya pemeliharaan hingga 75 persen dan mengurangi jejak karbon mencapai 50 persen.

Baca juga: 3 Tahapan Penting Wujudkan Bangunan Zero Carbon, Harus Manfaatkan Sistem Cerdas!

Pertanyaan selanjutnya, apakah kita harus segera mengadopsi konsep bangunan cerdas dan hijau untuk mengurangi jejak emisi karbon, mencapai efisiensi, dan keberlanjutan? Jawabannya, tentu iya.

Pertama, bangunan konvensional menghasilkan lebih banyak emisi karbon dan boros energi. Sementara, bangunan cerdas dan hijau dapat membantu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta mengurangi biaya energi dan operasional dalam jangka panjang.

Kedua, fakta-fakta di lapangan telah membuktikan bahwa penerapan IoT pada bangunan cerdas lebih menguntungkan usaha. 

Wujudkan Net Zero Emissions dengan Mendukung Cleantech Start-up Indonesia

Indonesia darurat polusi, harus ada dukungan dari banyak pihak untuk mewujudkan clean energy

Indonesia punya komitmen mencapai net zero emissions (nol emisi karbon) pada 2060. Namun, ternyata masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkannya.

Baru-baru ini, New Energy Nexus Indonesia  merilis hasil riset yang melaporkan jumlah pertumbuhan start-up teknologi energi bersih atau cleantech di Indonesia makin meredup karena hambatan pendanaan dan iklim regulasi dalam negeri yang dinilai kurang mendukung.

Sementara itu, untuk dapat mencapai target emisi nol bersih yang telah dicanangkan, Indonesia perlu lebih banyak mengembangkan cleantech start-up.

Baca juga: Biar Tagihan Listrik Irit, Lakukan 7 Langkah Membuat Rumah Lebih Sustainable Ini

International Energy Agency (IEA) dalam laporannya yang dirilis pada 2021 mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang perlu meningkatkan investasi energi bersih tahunan hingga lebih dari tujuh kali lipat pada 2030. Hal ini dilakukan jika ingin mencapai emisi nol bersih global pada 2050.

Laporan The Independent High-Level Expert Group on Climate Finance pada 2022 juga memproyeksikan bahwa investasi infrastruktur berkelanjutan perlu ditingkatkan hingga dua kali lipat per tahunnya pada 2030 dengan 1,7 triliun dollar AS atau setara Rp 26.057 triliun.

Dengan kebutuhan dana besar, tantangan yang dihadapi cleantech start-up di Indonesia tersebut umum dialami di hampir seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang.

Faktor minimnya pendanaan akibat kurangnya minat investor dan regulasi atau kebijakan yang belum memadai, ditambah dengan masih minimnya sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni di bidang energi baru terbarukan (EBT) menjadi faktor fundamental dan saling terkait.

Dukungan kebijakan

Kebijakan atau regulasi suatu negara dalam mendukung terbentuknya ekosistem cleantech start-up menjadi variabel utama yang memengaruhi iklim investasi dan cepat lambatnya laju perkembangan industri.

Terlebih, industri EBT merupakan sektor anyar yang membutuhkan biaya besar. Biaya-biaya ini meliputi anggaran riset dan pengembangan serta  pengadaan material produksi dengan tingkat risiko yang tinggi.

Baca juga: Bagaimana Memanfaatkan Surplus Generasi Muda di Era Sustainability Teknologi?

Oleh karena itu, pegiat cleantech start-up membutuhkan kebijakan pembiayaan yang fleksibel dan didukung oleh lembaga negara.  Skema pendanaan dan subsidi dari pemerintah bagi pelaku cleantech start-up disinyalir dapat memberikan angin segar.

Sebagai contoh, pendanaan pemerintah bisa diprioritaskan untuk early-stage start-up untuk riset pengembangan produk dan membangun pondasi usahanya.

Guna menarik minat investor swasta, pemberian insentif pajak dan kemudahan pinjaman kredit pemerintah juga bisa diberikan sebagai daya tarik.  

Baca juga: 3 Tahapan Penting Wujudkan Bangunan Zero Carbon, Harus Manfaatkan Sistem Cerdas!

Dukungan kebijakan selanjutnya adalah akselerasi peraturan yang berfokus pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan usaha, akses terhadap teknologi dan rantai pasok domestik, serta kebijakan struktur tarif.

Kebijakan pemerintah yang dapat membuka peluang pasar untuk mulai beralih pada solusi teknologi atau produk ramah lingkungan tersebut menjadi kunci dalam mengomersialkan dan menjadikan cleantech start-up menarik di mata investor.

Diversifikasi skema pembiayaan

Dalam hal investasi, para impact investor perlu memiliki pemahaman penuh untuk melihat keuntungan investasi dari sudut pandang triple bottom line. Maksudnya, kesuksesan tidak hanya diukur dari segi profitabilitas saja, tetapi juga seimbang dari segi dampak terhadap lingkungan dan manusia. 

Cleantech start-up  harus mampu meyakinkan investor akan peran yang mereka mainkan dalam menggerakkan jarum menuju titik emisi nol bersih.

Sebagai contoh, Schneider Electric Energy Access (SEEA) dan Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) yang berdiri sejak 2009 dan 2019 merupakan model impact investing yang berpedoman pada sirkularitas dan ekonomi inklusif.

Baca juga: Mengapa Digitalisasi Membuat Hasil Bisnis Lebih Baik: 3 Pelajaran yang Dipetik

SEEA menyatukan berbagai pemangku kepentingan dengan mengajak karyawan dan para mitra bisnis Schneider Electric untuk berinvestasi serta berkomitmen pada pengembangan akses energi bersih yang inovatif dan membantu mengurangi kesenjangan energi di dunia.

Berdasarkan pengalaman menjalankan impact investment selama 14 tahun, Schneider Electric melihat bahwa diversifikasi skema pembiayaan perlu terus dijajaki, mulai dari subsidi pemerintah hingga skema modal campuran, termasuk skenario swasta dan komersial.

Dengan demikian, imbuh Roberto, risiko akan lebih tersebar di lebih banyak pemangku kepentingan.

Selain itu, inovasi mekanisme pendanaan baru, seperti pembiayaan mikro, sewa guna usaha mikro, dan crowdfunding juga perlu dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan belanja modal.

Baca juga: Data Center Hibrida dan Edge untuk Gaya Hidup Digital Hemat Energi

Terlepas dari teknis skema pembiayaan, hal fundamental yang perlu dimiliki oleh impact investor lainnya adalah tujuan, visi, dan misi yang jelas mengenai apa yang ingin dicapai.

Penting juga untuk memastikan nilai-nilai tersebut tercermin dalam budaya perusahaan dan memahami betul risiko sert dampak dari impact investment-nya.

Schneider Electric memegang nilai-nilai sebagai impact company yang berfokus pada visi dan misi untuk memberikan akses energi bersih yang adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat dunia (access to energy). 

Sebagai informasi, melalui SEEA dan SEEAA, Schneider Electric telah menggelontorkan dana lebih dari 75 juta Euro atau setara Rp 1,25 triliun untuk 49 perusahaan rintisan di berbagai negar, salah satunya cleantech start-up Indonesia, Xurya Daya. 

Indonesia sebagai negara dengan berbagai alternatif dan potensi sumber daya hingga mencapai 3.686 gigawatt (GW) memiliki prospek pengembangan EBT yang sangat besar. 

Oleh sebab itu, cleantech start-up Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan membutuhkan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan agar ekosistem cleantech start-up dalam negeri dapat bangkit dan semakin kuat.

Bagaimana Memanfaatkan Surplus Generasi Muda di Era Sustainability Teknologi?

Seorang perempuan bersama dua rekannya sedang melakukan upskilling di bidang teknologi

Teknologi menyediakan sarana untuk berinovasi demi kebaikan. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada lebih dari 1,8 miliar orang berusia antara 10 hingga 24 tahun di dunia. Mereka merupakan 1 dari 6 orang dan hampir 90 persennya tinggal di negara berkembang.

Apa artinya? Ini berarti penting untuk memberikan keterampilan yang relevan dan dapat ditingkatkan bagi generasi muda. Tujuannya adalah menyiapkan mereka menjadi generasi pemimpin berikutnya guna menghadapi tantangan masa depan. Tidak hanya membekali pengetahuan tentang sains, teknologi, teknik, atau matematika saja, mereka harus diajari soft skill, seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, serta peduli terhadap lingkungan dan keadilan sosial.

Mengapa semua ini penting?

Berdasarkan data Announced Pledge Scenario yang dihimpun International Energy Agency (IEA), emisi karbon akan turun 4-5 gigaton per tahun. Emisi karbon tersebut harus turun setidaknya 3 kali lipat per tahun jika kita ingin tetap berada dalam tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 celcius di era industri.

Baca juga: Mengapa Digitalisasi Membuat Hasil Bisnis Lebih Baik: 3 Pelajaran yang Dipetik

Selain itu, masih menurut IEA, tenaga kerja perempuan pada sektor energi memiliki 76 persen lebih sedikit dibandingkan laki-laki, dan sebagian kecil dari mereka bekerja di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).

Transisi energi memberikan kesempatan untuk memberikan pelatihan teknis dan kepemimpinan kepada perempuan –terutama perempuan muda yang sedang belajar– untuk siap menghadapi peluang kerja yang akan tercipta di masa depan.

Kita hampir kehabisan waktu. Kita harus bertindak sekarang dan bersiap untuk masa depan. Tidak hanya dengan berkomitmen pada diri kita sendiri, tetapi juga dengan memungkinkan generasi berikutnya untuk bertindak.

Ada banyak cara untuk bertindak – dan Schneider Electric berkomitmen untuk membantu

Sekitar 80 persen dari semua emisi karbon dioksida global saat ini berhubungan dengan sektor energi. Kita perlu meningkatkan keterampilan dan memungkinkan semua orang, khususnya generasi muda untuk mengambil tindakan.

Bagaimana caranya?

Jelas, sangat penting untuk meningkatkan keterampilan dan mempersiapkan semua generasi untuk pekerjaan di masa depan.

Baca juga: 3 Tahapan Penting Wujudkan Bangunan Zero Carbon, Harus Manfaatkan Sistem Cerdas!

Salah satu perusahaan yang fokus pada bidang energi, Schneider Electric memiliki komitmen dalam menjembatani kemajuan dan keberlanjutan untuk semua. Schneinder Electric juga bertujuan untuk melatih 1 juta orang dalam manajemen energi dan automasi industri pada 2025.

Selain itu, perusahaan asal Prancis itu juga hendak menggandakan peluang rekrutmen bagi pekerja magang, peserta pelatihan, dan lulusan muda.

Untuk memastikan pendekatan yang inklusif dari segi gender, Schneider Electric berkomitmen mempekerjakan 50 persen pekerja perempuan, 40 persen di antaranya bertugas di front-line management, dan 30 persen menjadi pemimpin guna menyediakan akses listrik ramah lingkungan kepada 50 juta orang pada 2025 .

3 Tahapan Penting Wujudkan Bangunan Zero Carbon, Harus Manfaatkan Sistem Cerdas!

Seorang engineer sedang memikirkan bagaimana caranya mewujudkan bangunan zero carbon, salah satu jawabannya adalah dengan menerapkan 3 solusi dari Schneider Electric

Para pemangku kepentingan global terus mendorong upaya pengurangan emisi karbon yang ditargetkan mencapai net-zero emission pada 2050.

Indonesia sendiri mencanangkan komitmen untuk dapat mencapai target net-zero emission pada 2060 dan menaikkan target Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) menjadi 32 persen atau setara 912 juta ton karbon dioksida pada 2030.

Komitmen tersebut perlu didukung dengan berbagai upaya, salah satunya dengan mendekarbonisasi bangunan karena sektor ini menyumbang 37 persen emisi karbon global.

Baca juga: Mengapa Digitalisasi Membuat Hasil Bisnis Lebih Baik: 3 Pelajaran yang Dipetik

Saat ini, proyek bangunan baru mulai dirancang dan dibangun dengan konsep ramah lingkungan dengan memanfaatkan teknologi yang dapat menciptakan bangunan zero carbon.

Namun, hal yang juga harus menjadi fokus perhatian bersama adalah bagaimana mentransformasi bangunan lama agar lebih efisien dan rendah karbon.

Mengingat, sekitar 50 persen bangunan yang ada saat ini masih akan digunakan hingga 2050. Tahun di mana sebagian besar perusahaan dan organisasi menargetkan untuk mencapai net-zero carbon.

Salah satu perusahaan yang fokus pada transformasi digital dalam pengelolaan energi dan automasi, Schneider Electric, pun merekomendasikan pengelola gedung untuk mewujudkan net carbon dengan berbagai cara.

Cluster President Schneider Electric Indonesia & Timor Leste Roberto Rossi mengatakan, Schneider Electric secara global telah membantu ribuan perusahaan dalam perjalanan mereka melakukan dekarbonisasi operasional bangunan, mulai dari hotel, ritel, rumah sakit, hingga perkantoran.

“Selama puluhan tahun pengalaman di bidang pengelolaan energi, sustainability, dan teknologi, kami merangkum tiga tahapan penting yang menjadi pondasi dalam mewujudkan bangunan zero carbon, yaitu strategize, digitize, dan decarbonize,” kata Roberto.

Ketiga tahapan tersebut, lanjut Roberto, menjadi satu rangkaian tak terpisahkan untuk menghasilkan dampak maksimal.

1. Strategize (buat strategi)

Strategi menjadi pondasi dasar dalam menciptakan roadmap menuju target emisi nol bersih. Terdapat beberapa langkah untuk memastikan kesuksesan pada tahap ini.

Pertama, perusahaan perlu melakukan pengukuran baseline data emisi karbon di seluruh portofolio bangunan untuk mendapatkan analisis akurat terkait awal perjalanan dekarbonisasi.

Kedua, perusahaan harus mempelajari semua opsi solusi dekarbonisasi dan skema pembiayaan yang ada, serta memodelkan dampaknya terhadap pertumbuhan bisnis dan proyeksi pencapaian dekarbonisasi.

Baca juga: Data Center Hibrida dan Edge untuk Gaya Hidup Digital Hemat Energi

Ketiga, membuat target dan key performance indicator (KPI) terukur dengan detail jadwal implementasi yang diselaraskan dengan science based targets (SBTi).

Keempat, mengidentifikasi dan melibatkan pemangku kepentingan yang tepat dalam perencanaan strategis dan pengimplementasiannya.

Kelima, berkomunikasi dan melibatkan seluruh ekosistem rantai nilai untuk mengambil aksi yang sama, mengingat sering kali kontribusi emisi karbon perusahaan dihasilkan secara tidak langsung.

2. Digitize (digitalisasi)

Digitalisasi merupakan langkah penting berikutnya. Perusahaan memerlukan visibilitas yang berkelanjutan atas konsumsi energi dan emisi karbon untuk memperkirakan, serta memvalidasi dampak dari upaya pengurangan karbonnya.

Langkah ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi anomali kinerja dan memastikan perusahaan berada dalam jalur yang tepat untuk mencapai tujuan dekarbonisasi.

Teknologi digital EcoStruxure Resource Advisor, misalnya, dapat membantu manajemen bangunan mengelola kompleksitas integrasi data dari berbagai sumber.

Baca juga: Biar Tagihan Listrik Irit, Lakukan 7 Langkah Membuat Rumah Lebih Sustainable Ini

Teknologi ini juga memberikan analisis dan rekomendasi yang dibutuhkan untuk pembuatan keputusan, serta membuat sistem pelaporan terpusat untuk pengukuran data emisi secara otomatis dan real-time dari ribuan lokasi.

Sistem pengukur power logic dengan pemantauan jarak jauh melalui EcoStruxure Power Monitoring Expert juga memungkinkan manajemen bangunan mengetahui posisi yang harus diberikan tindakan, mengidentifikasi masalah kualitas daya, dan menganalisis konsumsi energi berdasarkan jenis beban untuk fasilitas yang kritis dan intensif terhadap energi.

3. Decarbonize (dekarbonisasi)

Dua tahapan pertama digunakan untuk mempelajari dan mendapatkan wawasan yang dibutuhkan. Sedangkan, tahapan ketiga ini merupakan tindakan nyata yang diambil untuk mengurangi emisi, mendorong efisiensi dan ketahanan sumber daya, dan meningkatkan keuntungan bisnis.

Terdapat empat langkah yang bisa dilakukan manajemen gedung. Pertama, mengadopsi teknologi sistem manajemen gedung.

Baca juga: Schneider Electric Luncurkan Panduan Dasar Dekarbonisasi untuk Perusahaan di Indonesia

Kedua, peningkatan efisiensi di tingkat ruangan dengan penggunaan sensor dan perangkat berbasis internet of things (IoT). Tujuannya adalah untuk memaksimalkan penghematan energi dan karbon, serta memastikan kenyamanan penghuni bangunan.

Ketiga, modernisasi infrastruktur bangunan, seperti peralatan distribusi listrik yang sudah usang dan mengoptimalkan desain kelistrikan berbasis software. Keempat, melakukan transisi ke sumber daya terbarukan.

Solusi manajemen gedung

Solusi sistem manajemen gedung yang terbuka dan cerdas, seperti EcoStruxure Building Operation bisa menjadi pilihan pengelola gedung untuk mewujudkan ketiga tahap di atas.

Sistem manajemen gedung tersebut menyediakan integrasi, visibilitas, dan data yang terintegrasi untuk pengelolaan heating, ventilation, and air-conditioning (HVAC), daya, pencahayaan, keamanan, keselamatan kebakaran, jaringan mikro, stasiun pengisian daya kendaraan listrik, dan sumber energi terbarukan. 

Selain itu, ada juga teknologi EcoStruxure Building Advisor yang dapat membantu mengoptimalkan kinerja peralatan melalui pemeliharaan prediktif untuk membantu mencegah penurunan kinerja.

Sistem itu juga mampu mengidentifikasi kesalahan dan secara proaktif memberikan wawasan penting tentang efisiensi sistem, serta mendeteksi masalah kritikal sebelum terjadi kegagalan.

Baca juga: Ini Dampak Keberlanjutan Baterai Li-ion pada UPS dibandingkan dengan Aki Kering

“Berpegang pada nilai-nilai impact company, kami terus berupaya untuk menjadi mitra digital yang dapat diandalkan dan berdampak positif,” ujar Roberto.

Perusahaan asal Prancis tersebut juga menyediakan layanan konsultasi bagi korporasi dan organisasi seputar program sustainability dalam pengelolaan energi, automasi, dan aksi iklim melalui Schneider Electric Sustainability Business.

Schneider Electric juga mengajak sebanyak-banyaknya pemangku kepentingan, baik swasta maupun publik untuk bergabung menjadi Green Heroes for Life (GHfL).

“Caranya adalah dengan membangun supporting ecosystem yang mempermudah dimulainya perjalanan sustainability dengan aksi iklim yang terencana dan terukur,” ajak Roberto.

Mengapa Digitalisasi Membuat Hasil Bisnis Lebih Baik: 3 Pelajaran yang Dipetik

Seorang CEO wanita sedang melihat gadget untuk memeriksa pencapaian perusahaannya setelah melakukan digitalisasi dan transformasi digital

Di dunia yang semakin terhubung, data menjadi hal esensial bagi perusahaan. Sebab, data menghasilkan konektivitas yang memungkinkan perusahaan meningkatkan kinerja dan mencapai hasil bisnis yang ditargetkan.

Namun, ternyata transformasi digital kerap kali membebani banyak perusahaan, terutama perusahaan skala menengah ke bawah.

Kekhawatiran seperti apa kebutuhan dasar untuk mengumpulkan data? Bagaimana perusahaan dapat memastikan data disusun dan dikumpulkan sedemikian rupa sehingga dapat berguna? Siapa yang dapat mengelola digitalisasi di antara tekanan eksternal dari pelanggan dan investor untuk tetap berpegang pada ruang kemudi?

Baca juga: Data Center Hibrida dan Edge untuk Gaya Hidup Digital Hemat Energi

Banyak perusahaan merasa ketinggalan dalam digitalisasi, tetapi kenyataannya, ini adalah perjalanan yang akan terus berkembang selama bertahun-tahun yang akan datang.

Sering kali, perasaan yang meluap-luap ini menimbulkan pertanyaan yang mendesak. Apakah perusahaan perlu melakukan digitalisasi? Bagaimana kalau tidak?

Untuk itu, artikel ini akan membahas tentang 3 pelajaran penting terkait digitalisasi dan menjadi dasar bagi perusahan untuk melakukan transformasi digital.

Pelajaran #1: Layanan digital mengurangi beban operasional

Transformasi digital sangat penting bagi perusahaan untuk berkembang, menjadi lebih efisien, dan mencapai hasil bisnis sesuai target. Namun, bagi banyak perusahaan, hal ini masih sangat sulit dilakukan. Mengapa?

Pertama dan terpenting, digitalisasi mesin, bangunan, dan proses bukanlah kompetensi inti bagi sebagian besar perusahaan. Ini memerlukan biaya yang mahal dan banyak perusahaan memiliki tekanan eksternal untuk fokus pada bisnis inti dan aktivitas yang menghasilkan pendapatan, dibandingkan mengutak-atik digitalisasi.

Pelajaran #2: Digitalisasi adalah kunci untuk menghindari skenario terburuk

Bayangkan, Anda sudah berkemas dan siap naik pesawat. Siap untuk berlibur dan liburan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tiba-tiba, saat Anda sedang menunggu pesawat di bandara, listrik padam! Semua alat elektronik mati. Lebih dari 1.180 penerbangan dibatalkan, dan 30.000 penumpang terdampar selama lebih dari 10 jam tanpa listrik.

Inilah yang terjadi di Bandara Hartsfield-Jackson, Atlanta, Amerika Serikat pada akhir 2017 setelah kebakaran merusak dua gardu induk yang menyuplai aliran listrik di bandara, termasuk satu gardu induk yang seharusnya menyediakan listrik cadangan.

Baca juga: Biar Tagihan Listrik Irit, Lakukan 7 Langkah Membuat Rumah Lebih Sustainable Ini

Bisakah kejadian tersebut dicegah? Sampai batas tertentu, ya dengan digitalisasi. Konektivitas yang lebih baik antar-sistem dapat membantu menghindari skenario terburuk tersebut.

Dalam contoh kasus di atas, pejabat setempat tidak yakin dengan penyebab awal kebakaran dan ahli kelistrikan pun tidak dapat menyelidiki sampai api padam.

Mungkin bencana tersebut dapat dicegah jika pihak berwenang memiliki wawasan atau peringatan tentang masalah tersebut lebih awal melalui konektivitas yang lebih baik. Ini adalah contoh utama dari \ pemantauan digital secara real-time dan memiliki data yang tepat pada waktu yang tepat.

Pelajaran #3: Hasil bisnis penting — mulai dari keamanan, ketahanan, hingga sustainability

Seiring berkembangnya transformasi digital, banyak pemimpin di bidang teknologi informasi, direktur fasilitas, teknik, dan lainnya, hanya fokus pada hasil bisnis dibandingkan berfokus pada pemeliharaan dan siklus hidup peralatan yang digunakan.

Tanpa konektivitas, data, dan keamanan siber, hasil bisnis yang baik tidak mungkin terjadi bila pemeliharaan terhadap alat yang digunakan terabaikan.

Di perusahaan besar, mereka sangat membutuhkan arsitektur terpadu yang memungkinkan mereka menghubungkan berbagai lapisan peralatan. Mereka juga perlu bekerja dengan supplier untuk melakukan itu. Konektivitas plug-and-play menyediakan data jarak jauh untuk kontrol yang lebih baik atas hasil operasional.

Baca juga: Schneider Electric Luncurkan Panduan Dasar Dekarbonisasi untuk Perusahaan di Indonesia

Inilah pentingnya kehadiran digitalisasi untuk mendapatkan keamanan, ketahanan, dan keberlanjutan perusahaan.

Dan di sinilah peran mitra teknologi dapat membantu. Salah satu perusahaan yang fokus pada transformasi digital dalam pengelolaan energi dan automasi, Schneider Electric, dapat membantu perusahaan lebih fokus pada pekerjaan inti dan tanpa harus khawatir tentang keamanan data, bagaimana strukturnya, dan bagaimana mereka perlu mengeksekusi.

Layanan digital menyediakan aspek-aspek ini untuk mendukung perusahaan, tetapi pada akhirnya mereka tetap membuat keputusan akhir — Schneider Electric hanya menyediakan data untuk mendukungnya.

Baca juga: Ini Dampak Keberlanjutan Baterai Li-ion pada UPS dibandingkan dengan Aki Kering

Untuk perusahaan kecil, sangat sulit untuk mengimplementasikan semua yang Anda inginkan, jadi sangat penting untuk mengandalkan mitra. Di situlah mitra seperti Schneider Electric bisa menjadi solusi.

Schneider Electric hadir untuk membawa perjalanan transformasi digital perusahaan Anda ke level berikutnya. Begini cara pelayanan Schneider Electric Services dapat membantu perusahaan di hampir setiap industri.

1. EcoConsult Electrical Digital Twin

Layanan ini dapat mendigitalisasi dan menjaga second level domain (SLD) Anda tetap updated untuk mendapatkan visibilitas real-time untuk mengelola dan mengoperasikan arsitektur sistem kelistrikan. Dari audit, studi, layanan konsultasi, dan desain, Schneider Electric membantu menilai kebutuhan dan prioritas Anda serta menetapkan tugas, prosedur, dan pelacakan pemeliharaan.

2. EcoCare Services Membership

Layanan ini dapat membuka potensi penuh peralatan distribusi listrik Anda dengan pemantauan 24/7. Pakar sistem Schneider Electric dapat membantu Anda mengurangi downtime hingga 75 persen, mengurangi maintenance hingga 40 persen, dan memperpanjang masa pakai peralatan hingga 25 persen.

3. EcoFit

Layanan ini memodernisasi peralatan listrik Anda dengan memanfaatkan teknologi konektivitas, pemantauan, dan keamanan terbaru. Platform EcoStruxure dari Schneider Electric semakin meningkatkan pemeliharaan Anda dengan mengintegrasikan perangkat digital di seluruh sistem kelistrikan dan menghubungkannya ke software analitik berbasis cloud.

Dengan visibilitas baru ini, Anda dapat memantau kinerja peralatan secara real-time, melihat riwayat pemeliharaan, dan membuat keputusan manajemen aset berbasis data.

Baca juga: Tak Hanya Cerdas, Teknologi Smart Home Bisa Menghindari Rumah dari Kebakaran

Dengan melihat 3 pelajaran terkait pentingnya digitalisasi dan bagaimana mitra seperti Schneider Electric dapat membantu tahap transformasi digital perusahaan, tak ada lagi alasan untuk tidak mengikuti perkembangan zaman.