Indonesia punya komitmen mencapai net zero emissions (nol emisi karbon) pada 2060. Namun, ternyata masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkannya.
Baru-baru ini, New Energy Nexus Indonesia merilis hasil riset yang
melaporkan jumlah pertumbuhan start-up
teknologi energi bersih atau cleantech di Indonesia makin
meredup karena hambatan pendanaan dan iklim regulasi dalam negeri yang dinilai
kurang mendukung.
Sementara
itu, untuk dapat mencapai target emisi nol bersih yang telah dicanangkan, Indonesia
perlu lebih banyak mengembangkan cleantech start-up.
Baca juga: Biar Tagihan Listrik Irit, Lakukan 7 Langkah Membuat Rumah Lebih Sustainable Ini
International
Energy Agency (IEA) dalam laporannya yang dirilis pada 2021 mengungkapkan bahwa
negara-negara berkembang perlu meningkatkan investasi energi bersih tahunan
hingga lebih dari tujuh kali lipat pada 2030. Hal ini dilakukan jika ingin
mencapai emisi nol bersih global pada 2050.
Laporan
The Independent High-Level Expert Group on Climate Finance pada 2022 juga
memproyeksikan bahwa investasi infrastruktur berkelanjutan perlu ditingkatkan
hingga dua kali lipat per tahunnya pada 2030 dengan 1,7 triliun dollar AS atau
setara Rp 26.057 triliun.
Dengan
kebutuhan dana besar, tantangan yang dihadapi cleantech start-up di Indonesia tersebut umum dialami di hampir
seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang.
Faktor
minimnya pendanaan akibat kurangnya minat investor dan regulasi atau kebijakan
yang belum memadai, ditambah dengan masih minimnya sumber daya manusia (SDM)
yang mumpuni di bidang energi baru terbarukan (EBT) menjadi faktor fundamental
dan saling terkait.
Dukungan kebijakan
Kebijakan
atau regulasi suatu negara dalam mendukung terbentuknya ekosistem cleantech
start-up menjadi variabel utama yang memengaruhi iklim investasi dan cepat
lambatnya laju perkembangan industri.
Terlebih,
industri EBT merupakan sektor anyar yang membutuhkan biaya besar. Biaya-biaya ini
meliputi anggaran riset dan pengembangan serta pengadaan material produksi dengan tingkat
risiko yang tinggi.
Baca juga: Bagaimana Memanfaatkan Surplus Generasi Muda di Era Sustainability Teknologi?
Oleh
karena itu, pegiat cleantech start-up
membutuhkan kebijakan pembiayaan yang fleksibel dan didukung oleh lembaga
negara. Skema pendanaan dan subsidi dari
pemerintah bagi pelaku cleantech start-up disinyalir dapat
memberikan angin segar.
Sebagai
contoh, pendanaan pemerintah bisa diprioritaskan untuk early-stage
start-up untuk riset pengembangan produk dan membangun pondasi
usahanya.
Guna
menarik minat investor swasta, pemberian insentif pajak dan kemudahan pinjaman
kredit pemerintah juga bisa diberikan sebagai daya tarik.
Baca juga: 3 Tahapan Penting Wujudkan Bangunan Zero Carbon, Harus Manfaatkan Sistem Cerdas!
Dukungan
kebijakan selanjutnya adalah akselerasi peraturan yang berfokus pada
penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan usaha, akses terhadap
teknologi dan rantai pasok domestik, serta kebijakan struktur tarif.
Kebijakan
pemerintah yang dapat membuka peluang pasar untuk mulai beralih pada solusi
teknologi atau produk ramah lingkungan tersebut menjadi kunci dalam mengomersialkan
dan menjadikan cleantech start-up menarik di mata investor.
Diversifikasi skema pembiayaan
Dalam
hal investasi, para impact investor perlu memiliki pemahaman
penuh untuk melihat keuntungan investasi dari sudut pandang triple
bottom line. Maksudnya, kesuksesan tidak hanya diukur dari segi
profitabilitas saja, tetapi juga seimbang dari segi dampak terhadap lingkungan
dan manusia.
Cleantech
start-up
harus mampu meyakinkan investor akan peran yang mereka mainkan dalam
menggerakkan jarum menuju titik emisi nol bersih.
Sebagai
contoh, Schneider Electric Energy
Access (SEEA) dan Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) yang berdiri sejak
2009 dan 2019 merupakan model impact investing yang berpedoman
pada sirkularitas dan ekonomi inklusif.
Baca juga: Mengapa Digitalisasi Membuat Hasil Bisnis Lebih Baik: 3 Pelajaran yang Dipetik
SEEA
menyatukan berbagai pemangku kepentingan dengan mengajak karyawan dan para
mitra bisnis Schneider Electric untuk berinvestasi serta
berkomitmen pada pengembangan akses energi bersih yang inovatif dan membantu
mengurangi kesenjangan energi di dunia.
Berdasarkan
pengalaman menjalankan impact investment selama 14 tahun, Schneider
Electric melihat bahwa diversifikasi skema pembiayaan perlu terus dijajaki, mulai
dari subsidi pemerintah hingga skema modal campuran, termasuk skenario swasta
dan komersial.
Dengan
demikian, imbuh Roberto, risiko akan lebih tersebar di lebih banyak pemangku
kepentingan.
Selain
itu, inovasi mekanisme pendanaan baru, seperti pembiayaan mikro, sewa guna
usaha mikro, dan crowdfunding juga perlu dipertimbangkan untuk
memenuhi kebutuhan modal kerja dan belanja modal.
Baca juga: Data Center Hibrida dan Edge untuk Gaya Hidup Digital Hemat Energi
Terlepas
dari teknis skema pembiayaan, hal fundamental yang perlu dimiliki oleh impact investor lainnya adalah tujuan, visi, dan misi yang jelas mengenai apa
yang ingin dicapai.
Penting
juga untuk memastikan nilai-nilai tersebut tercermin dalam budaya perusahaan
dan memahami betul risiko sert dampak dari impact investment-nya.
Schneider
Electric memegang nilai-nilai sebagai impact
company yang
berfokus pada visi dan misi untuk memberikan akses energi bersih yang adil,
inklusif, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat dunia (access to energy).
Sebagai
informasi, melalui SEEA dan SEEAA, Schneider Electric telah
menggelontorkan dana lebih dari 75 juta Euro atau setara Rp 1,25 triliun untuk 49 perusahaan
rintisan di berbagai negar, salah satunya cleantech start-up Indonesia,
Xurya Daya.
Indonesia
sebagai negara dengan berbagai alternatif dan potensi sumber daya hingga
mencapai 3.686 gigawatt (GW) memiliki prospek pengembangan EBT yang sangat
besar.
Oleh sebab itu, cleantech start-up Indonesia memiliki peranan
yang sangat penting dan membutuhkan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku
kepentingan agar ekosistem cleantech start-up dalam negeri dapat
bangkit dan semakin kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar