Sebagai sektor mayoritas yang mendominasi dari jumlah populasi industri manufaktur di Indonesia, industri kecil menengah (IKM) memiliki peran signifikan dalam mendorong percepatan sektor manufaktur nasional pascapandemi.
Sektor manufaktur sendiri merupakan salah satu sektor prioritas dalam revolusi industri 4.0 yang diharapkan mengantarkan Indonesia menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia berdasarkan nilai produk domestik bruto (PDB) pada 2030 mendatang.
Oleh karena itu, kesuksesan
program Making Indonesia 4.0 dan percepatan pemulihan ekonomi tidak dapat
terlepas dari peran IKM nasional.
Pandemi mengingatkan kita bahwa krisis dapat terjadi kapan saja bahkan ketika ekonomi dalam kondisi yang cukup stabil. Dengan pergerakan bisnis yang terhambat, banyak sektor industri terpukul dan tidak sedikit yang harus menelan kepahitan. Namun begitu, banyak juga pelaku industri yang dapat bertahan di masa krisis, terutama bagi perusahaan yang telah memulai transformasi digital.
Belajar dari pandemi Covid-19,
kemampuan perusahaan untuk dapat mengelola operasionalnya secara lebih efisien
dan dapat tetap produktif di tengah pembatasan interaksi sosial menjadi faktor
penting dalam menentukan tingkat ketahanan bisnisnya.
Baca juga: Awas Serangan Siber! Lakukan 4 Tips Ini agar Internet di Rumah Tidak Diretas
Efisiensi operasional dalam hal tersebut
adalah bagaimana perusahaan menjalankan kegiatan bisnisnya melalui pengelolaan
sumber daya yang cerdas untuk menghasilkan produktivitas yang lebih baik dan
dapat mengurangi beban operasional. Salah satu beban operasional yang
berkontribusi cukup signifikan terhadap biaya produksi adalah biaya energi
dengan kisaran antara 20-30 persen.
Business Vice President
Industrial Automation Schneider Electric Indonesia & Timor
Leste Hedi Santoso menyampaikan, pengelolaan energi menjadi salah satu
area kritis karena risikonya cukup tinggi dan harus dioptimalkan oleh agar
dapat kompetitif serta berkelanjutan.
Pemanfaatan teknologi digital
dalam pengelolaan energi dapat membantu perusahaan menganalisis konsumsi
energinya dan mengambil keputusan berdasarkan data real-time untuk
meningkatkan efisiensi serta mengurangi biaya energi hingga 50 persen.
“Digitalisasi juga memungkinkan
perusahaan memiliki kemampuan analisis prediktif berbasis data atas kemungkinan
terjadinya gangguan serta melakukan tindakan preventif sebelum terjadi
kegagalan yang dapat merugikan perusahaan,” ujar Hedi.
Tuntutan konsumen
masa depan
Kesadaran konsumen akan korelasi
antara pilihan produk yang dikonsumsi dengan konstribusinya terhadap dampak
lingkungan terus meningkat.
Gerakan mengurangi penggunaan
kantong plastik, menggunakan produk daur ulang, serta menghemat penggunaan
listrik dan air sedikit demi sedikit mulai menjadi kebiasaan baru.
Baca juga: Awas, Produktivitas Industri Manufaktur Semakin Merosot! Ini Pentingnya Automasi Universal
Konsumen di negara yang sudah
lebih maju bahkan telah meminta brand produk yang
dikonsumsinya untuk secara transparan mengaudit kegiatan operasionalnya
berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Konsumsi energi listrik diperkirakan akan meningkat signifikan dalam dua dekade ke depan yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi masyarakat yang diprediksi mencapai 8,5 miliar orang pada 2030.
Produksi energi listrik akan bertumbuh lebih dari 70 persen dalam 20 tahun ke depan yang dipicu oleh urbanisasi dan standar hidup yang tinggi. Tuntutan konsumen masa depan terhadap keberlanjutan lingkungan ini akan menciptakan standar baru di industri dan menjadi alarm untuk segera mengambil langkah perubahan dalam pengelolaan kegiatan bisnisnya.
Sektor IKM nasional harus jeli
dalam mengantisipasi tantangan masa depan ini terutama agar dapat lebih
kompetitif dalam menggarap pasar global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar